Iwan Setyawan: Penulis “9 Summers 10 Autumns” yang Mantan Director Internal
Client Management di Nielsen Consumer Research, New York
Kesuksesan kerja dan karier cemerlang
di New York, Amerika Serikat tidak membuat Iwan Setyawan enggan kembali ke kampung halamannya di Kota Apel Malang,
Jawa Timur. Ia memutuskan berhenti dan pulang ke Indonesia.
“Waktu saya memutuskan berhenti
dan kembali ke Indonesia banyak yang Tanya, are you crazy? “ ujar Iwan saat tampil di Kick Andy. Dengan tenang, pria kelahiran di
Batu-Malang pada 2 Desember 1974 ini, menceritakan bahwa tujuannya bekerja
sampai ke New York adalah untuk mencari uang agar bisa memiliki kamar
tidur sendiri. Ini adalah obsesi terbesarnya.
Maklum, Iwan adalah keluarga
sederhana. Ayahnya yang hanya sopir angkot yang tak punya cukup dana untuk bisa
membuatkan kamar yang layak untuk anak-anaknya. Iwan tinggal di rumah berukuran
enam kali tujuh meter, dimana ia harus berbagi tempat dengan orang tua dan 4
saudari perempuannya.
Dengan susah payah dalam masalah
pembiayaan, Iwan bisa lulus sekolah bahkan kuliah di Institut Pertanian
Bogor (IPB). Dalam kurun waktu 4 tahun, kuliahnya di Fakultas MIPA, Jurusan
Statistika selesai dan menjadi lulusan terbaik di tahun 1997. Ia bekerja selama
tiga tahun di Jakarta sebagai data analis di Nielsen dan Danareksa Research
Institute. Ia selanjutnya merambah karier di New York City.
Berkat upaya dan keinginan kuat untuk
keluar dari kemiskinan keluarganya, ia berhasil mendapatkan pekerjaan di
Amerika sebagai Senior Manager Operations. Selama 10 tahun meniti karier
di negeri Paman Sam, ia akhirnya bisa menduduki jabatan bergengsi, yaitu
sebagai Director Internal Client Management Data Analysis and Consulting
Nielsen Consumer Research New York, Amerika Serikat. Pencinta yoga, sastra. dan
seni teater ini meninggalkan NYC Juni 2010 dengan posisi terakhir tersebut.
Meski dalam perjalanan karier yang
demikian bagus, tapi Iwan memilih jalannya sendiri. Iwan tinggalkan kota
“Big Apple” New York, dengan segala kemeriahannya dan memilih kembali ke kota
Apel Malang, Jawa Timur. “Di sini, saya ingin berterima kasih pada semua
orang yang mendukung saya. Dan saya ingin melakukan sesuatu yang touch
people,” tegasnya.
9 Summers 10 Autumns
“Di kaki Gunung Panderman, di rumah
berukuran 6 x 7 meter, seorang anak laki-laki bermimpi. Kelak, ia akan
membangun kamar di rumah mungilnya. Hidup bertujuh dengan segala sesuatu yang
terbatas, membuat ia bahkan tak memiliki kamar sendiri.”
Cerita tentang kesuksesan selalu
menggugah inspirasi. Setelah semua rintangan dapat dilalui, dan hidup yang dulu
terasa pahit dan kadang menyakitkan berubah menjadi kebahagiaan, di saat itulah
perjalanan hidup seseorang menarik untuk dipelajari. Maka, lewat buku yang
dikemas dengan gaya tutur novel ini Iwan Setyawan ingin berbagi inspirasi kepada
pembaca.
9 Summers 10 Autumns adalah novel pertama yang terinspirasi dari perjalanan
hidupnya sebagai anak seorang sopir di Kota Batu ke New York City. Buku
pertamanya Melankoli
Kota Batu berupa kumpulan
fotografi dan narasi puitis, didekasikan untuk Kota Batu. Iwan saat ini tinggal
di Batu, Jawa Timur.
Novel ini ditulis berdasarkan kisah
nyata perjalanan hidup Iwan yang berasal dari keluarga pas-pasan. Ayahnya
seorang sopir angkot yang hanya mengecap pendidikan sampai kelas 2 SMP.
Sedangkan ibunya yang tidak tamat SD, digambarkan Iwan sebagai cermin
kesederhanaan yang sempurna. Iwan memiliki 4 saudara perempuan yang disebutnya
4 pilar kokoh.
Iwan mengisahkan, di rumahnya yang
mungil dan hampir tak berhalaman, ia dan 4 saudara perempuannya (2 kakak dan 2
adik), serta ibu dan bapaknya, berbagi dua kamar tidur, satu ruang tamu kecil,
satu dapur, dan satu kamar mandi. Ia menulis, “Sebagai anak laki satu-satunya, aku selalu
berpindah-pindah tempat tidur. Dari kamar ibu bapakku, kamar kakak perempuanku,
ruang tamu, dapur, sampai tidur dengan kakek nenek di rumah bambu mereka yang
berlantai tanah, di sebelah rumah kami.”
Kondisi itu berlangsung hingga ia
menginjak masa remaja. Ia pun bermimpi ingin punya kamar sendiri suatu saat
nanti. “Aku
selalu menginginkan sebuah kamar, bisa menutup pintunya dan mengarungi malam
sendiri. Namun meminta kamar sendiri pada saat itu bukan hanya permintaan yang
sangat bodoh, tapi juga pertanyaan yang tak berhati,” katanya. Lantaran sering
batuk-batuk pada malam hari, bapaknya membuatkan ranjang dari bambu. Ranjang
ini ditempatkan di sudut ruang tamu, di dekat pintu dapur, di depan kamar
orangtuanya. “Ranjang bambu berukuran kira-kira 0,5 x 1,5 meter itu adalah
ranjang pertamaku,” tulisnya.
Hidup dalam kondisi yang serba
kekurangan, ternyata tidak mematahkan semangat Iwan – juga kakak dan adiknya –
untuk menggapai cita-cita yang tinggi. “Di tengah kesulitan, kami hanya bisa bermain
dengan buku pelajaran dan mencari tambahan uang dengan berjualan pada saat bulan
puasa, mengecat boneka kayu di wirausaha kecil dekat rumah, atau membantu
tetangga berdagang di pasar sayur,” tulis Iwan. Ia berkeyakinan bahwa pendidikan dapat
membentangkan jalan keluar dari penderitaan dan mengubah hidup seseorang.
Dalam novel ini, jelas tergambar
sosok ibu yang berperan besar dalam membangun karakter dan mengisi pendidikan
anak-anaknya. Iwan menggambarkan sosok ibunya cukup detail, sehingga pembaca
bisa belajar banyak dari tokoh ini. Ia menceritakan, ibunya membangun ide untuk
menabung. Ibunya juga pintar mengatur berapa liter nasi yang harus ditanak
tanpa tersisa keesokan harinya, kapan keluarganya harus makan daging, ayam,
atau tempe.
Iwan mengungkapkan, ibunya tahu
barang apa yang harus digadaikan untuk membeli sepatu baru bagi anaknya dan
mengatur pembayaran uang sekolah. “Dia menghadirkan demokrasi berbagi di tengah
pergulatan hidup. Ibuku adalah cermin kesederhanaan yang sempurna di mata kami
dan kesederhanaan inilah yang menyelamatkan kami,” papar Iwan menggambarkan ibunya.
Kemiskinan rupanya tak menggoyahkan
hati sang ibu. Melalui pendidikan, ibunya yakin, anak-anaknya akan memiliki
masa depan yang cerah. Karena itu, ia gigih berjuang agar anak-anaknya tetap
sekolah. “Ibu
ngotot semua anaknya, termasuk yang perempuan, harus sekolah sampai
universitas,” tutur Iwan.
Lulus dari SMAN 1 Batu dengan
prestasi yang baik, Iwan mendapat undangan khusus untuk kuliah di Institut
Pertanian Bogor (IPB). Berita itu disambut gembira oleh keluarganya. Namun di
sisi lain, ia gamang terhadap biaya kuliah yang harus mereka tanggung. Tak
ingin anak lelakinya kehilangan kesempatan untuk meraih pendidikan tinggi, sang
ayah menjual satu-satunya angkot yang selama puluhan tahun telah menghidupi
keluarga ini. Setelah tak memiliki angkot lagi, ayah Iwan kemudian menjadi
sopir truk.
Iwan diterima di jurusan Statistika,
salah satu jurusan favorit di IPB. Mahasiswa yang berhasil masuk jurusan ini
semuanya memiliki IPK tinggi di Tingkat Persiapan Bersama. Karena itu tingkat
persaingannya pun sangat ketat. Mulanya ia sempat grogi dan merasa tak yakin
dapat memenuhi harapan orangtuanya. Ia mengungkapkan kekhawatirannya itu.
“Setelah tingkat dua, persaingan menjadi
semakin tajam dan tak sedikit mahasiswa yang harus mengulang atau drop-out. Aku
mungkin salah satu siswa terbaik di Batu, tapi di sini aku menjadi sangat
“kecil” di tengah siswa berprestasi lainnya: siswa teladan nasional, finalis
olimpiade matematika internasional, juara karya ilmiah nasional, dan sederet
prestasi panjang lainnya.”
Dalam kegalauan hatinya, ibunya
menenangkan Iwan dengan mengatakan, “Coba dulu, belajar yang rajin, jangan
takut.” Nasihat sang ibu
memberi keyakinan bahwa menjalani proses adalah menjalankannya sekarang, saat
ini, dengan kerja keras dan melepaskan ketakutan akan hasil yang didapat.
Kegagalan ataupun keberhasilan sebuah proses adalah dimensi lain yang akan
melahirkan pelajaran baru untuk proses selanjutnya. Alhasil, Iwan berhasil
menjadi lulusan terbaik dari fakultas MIPA jurusan Statistika pada 1997.
Berikutnya, perjalanan Iwan menuju
tangga kesuksesan dimulai. Setelah lulus dari IPB, Iwan diterima bekerja di AC
Nielsen Jakarta sebagai data analyst selama dua tahun, lalu di Danareksa
Research Institute (DRI). Tak lama berkarier di DRI, Iwan mendapat tawaran yang
sulit dia tolak, yaitu sebagai data processing executive di Nielsen
International Research di New York, AS. Ia tak pernah bermimpi mendatangi New
York, terlebih mendapat kesempatan karier di perusahaan multinasional di negara
Paman Sam itu. Nmaun, berkat kerja keras dan ketekunan, ia berhasil melampaui
mimpinya.
Setelah 8 tahun berkarier di New
York, Iwan berhasil menduduki posisi tinggi, sebagai Director Internal Client
Management di Nielsen Consumer Research, New York. Karena kerinduannya yang
dalam pada tanah kelahirannya, Batu, di tahun ke-10 Iwan memutuskan untuk
berhenti dari perusahaan ini dan memilih kembali ke Indonesia. “Aku ingin membangun sebuah
kamar kecil, di Tanah Airku,” janjinya.
“Namun tak selamanya gemerlap
lampu-lampu New York dapat mengobati kerinduan akan rumah kecil dan Tanah
Airnya. Dan pada akhirnya, cinta keluargalah yang menyelamatkan semuanya.”
IWAN dalam setiap ceritanya selalu menyebut peran ibunya.
”Tiap lembar buku yang saya tulis ini ada jiwa ibu saya. Karena ibu selalu
mendorong di saat saya susah. Hidup saya diselamatkan ibu saya. Saya bakal
nyasar kemana-mana kalau tidak dibimbing ibu saya,” ungkapnya.Meskipun dia tidak lulus SD, Ibu saya adalah seseorang yang intellectually
enlightened. Visi ke depan dia untuk anak-anak dengan berusaha
memberikan pendidikan terbaik dan setinggi-tingginya adalah inspirasi segar
dari sosok yang tidak mengenyam dunia pendidikan.Di Hari Kartini 21 April ini IWAN berharap muncul perempuan-perempuan
tangguh lainnya yang mampu menciptakan Kartini-Kartini muda sebagai penerus
bangsa.
Anak sopir angkot kelahiran Batu Malang ini, tidak akan
sampai ke New York Amerika Serikat kalau di dalam keluarganya tidak ada prinsip
berbagi. Kini ia pun berbagi sejarah kisah perjalanan kesuksesannya.
IWAN SETYAWAN (37) penulis buku berjudul ”9 Summers 10
Autumns Dari Kota Apel ke The Big Apple” ini mengawali perbincangannya di hall
Suara Surabaya (SS) Media, Sabtu (16/04) dengan membuka sejarah kehidupan di
keluarganya yang soro (susah–Red).
Dia menunjukkan sejumlah slide berisi foto-foto. Peserta
diajak menikmati panorama Kota Batu Malang, kemudian ’dibawa’ ke New York City.
Dia pun mulai bercerita bahwa ayahnya seorang sopir angkot
yang 36 tahun hidupnya di jalan. Rumahnya berada di Gang Buntu. “Saya takut
bermimpi tinggi. New York bukan mimpi saya. Mimpi saya cuma satu pingin punya
kamar sendiri. Karena saya lima bersaudara yang tinggal di rumah kecil
berukuran 6 x 7 meter dengan dua kamar. Sehingga saya harus tidur dengan ibu
atau kalau tidak dengan kakak saya,” ungkapnya.
Kondisi ini pun berubah setelah dia 10 tahun bekerja New York
City dengan posisi terakhir sebagai Director Internal Client Management di
Nielsen Consumer Research.
IWAN berhasil membuat ibu, bapak, 2 kakak perempuan dan 2
adik perempuannya tidak soro lagi. Bahkan dari penghasilannya dia
sudah membangun rumah buat orangtuanya serta saudara-saudaranya itu.
Untuk menopang kehidupan yang pas-pasan pasca mobil angkot
bapaknya dijual ibunya untuk biaya kuliah IWAN, kini IWAN pun bisa tersenyum
bahagia karena sudah membangun kos-kosan di Yogyakarta yang hasilnya tiap bulan
bisa untuk mencukupi kehidupan orang tuanya.
”Selama saya bekerja di New York, saya bekerja bukan untuk
saya, tapi untuk ibu, bapak, dan saudara-saudara saya. Karena merekalah yang
sejak dulu berbagi sama saya, dan membuat saya bisa kuliah dan bekerja di New
York,” paparnya.
Pria mungil lulusan terbaik MIPA IPB 1997 dari Jurusan
Statistika ini pun tidak ingin sejarah keluarganya yang mengantarkan kesuksesan
hilang begitu saja. Dia pun mulai menuliskannya sejak Juli hingga Desember 2010
untuk membagikan kisahnya kepada sanak saudaranya.
”Buku ini awalnya saya tulis untuk keluarga dan
keponakan-keponakan saya. Tapi alangkah senangnya kalau orang lain juga bisa
membacanya. Karena jaman sekarang ini kadang sejarah keluarga yang diketahui
kesuksesannya saja, tapi tidak mengenal titik nolnya, perjuangan sampai sukses
itu seperti apa…” jelas IWAN.
Dalam hidupnya IWAN memiliki motto: Tembus batas ketakukan.
Berlayar dan teruslah berlayar, jangan tunggu keajaiban. Serta Berbagi itu
indah, karena dengan berbagi kita akan merasa bahagia.
IWAN penulis buku yang menjadi nara sumber bincang buku di SS
Media membuat acara berlangsung seru. Waktu yang dialokasikan 2 jam bahkan
tidak terasa hingga berlalu 3 jam. Saat dibuka sesi tanya jawab, hampir separo
peserta mengangkat tangannya ingin sharing dengan dia.
Peserta yang sebagian besar dari komunitas Akademi Berbagi
itu pun silih bergantian berbicara. INDRA satu diantaranya menilai buku yang
ditulis IWAN layak dibawa ke layar lebar layaknya buku Laskar Pelangi.
IWAN pun berharap begitu, dan dia ingin langsung jadi
pemainnya, meskipun jawabannya itu dengan nada guyon. Kata IWAN, dia sebenarnya
hanya ingin berbagi sejarah, pengalaman dengan menyentuh hati orang lain,
supaya hidup orang itu jadi berbeda dan luar biasa.
Selama di SS Media, setelah kegiatan bincang buku, IWAN pun
laris diminta mengisi acara di She Radio 99.6 FM serta Radio Suara Surabaya FM
100. Dia juga diajak melihat lebih dekat aktifitas di SS Media, bahkan mampir
juga ke Library SS Media
***
Ibu Tidak Lulus SD, Antarkan Anaknya Jadi
Direktur di New York
Ibu, sebagai Kartini di mata saya: Sosok yang menyimpan “kekuatan”
luar biasa dibalik kelembutannya, dibalik daster batiknya.
Inilah ungkapan IWAN SETYAWAN (37) si anak sopir angkot yang
pernah jadi Direktur Internal Client Management di Nielsen Consumer Research di
New York, Amerika Serikat, menggambarkan sosok NGATINAH ibundanya tercinta.
IWAN penulis buku berjudul ”9 Summers 10 Autumns Dari Kota
Apel ke The Big Apple” sangat mengagumi sosok ibunya yang sederhana, tapi
sangat memperhatikan pendidikan anaknya.
Meski hidup pas-pasan dengan penghasilan ABDUL HASIM suaminya
sebagai sopir angkot, Ibu NGATINAH ini tidak pernah patah semangat selalu
mendorong anaknya untuk sekolah hingga perguruan tinggi.
“Ibu saya mengharuskan anak-anaknya kuliah terutama yang
perempuan. Ibu saya nggak rela kalau anaknya perempuan minta uang ke suami
mereka terus dimarahi dulu oleh suaminya. Tapi ibu juga tidak mengecualikan
saya sebagai anak laki-laki satu-satunya,” kata IWAN pada suarasurabaya.net.
Tinggal di rumah berukuran 6×7 meter dengan 5 anak dan
seorang suami, Ibu NGATINAH mengajarkan hidup sederhana. Kata IWAN, ibunya tahu
cara membagi sama rata sebutir telur dadar. Dia tahu berapa liter beras yang
akan ditanak jadi nasi supaya tidak sampai tersisa. Dia tidak pernah membelikan
mainan, tapi kalau anaknya minta buku selalu diusahakan untuk membelikannya.
IWAN melihat sosok ibunya tidak jauh berbeda dengan Ibu
Kartini. Sama-sama punya sosok dan keberanian luar biasa. ”Ibu saya tidak lulus
SD, tapi bisa menciptakan generasi tangguh, anak berpendidikan, karena terus
mendorong anaknya maju dan terus belajar. Dengan memberikan motivasi, makanan
terbaik, dan cintanya yang luar biasa,” pungkas IWAN yang kini memilih tinggal
di Batu, Malang bersama ibunya tercinta.